Bahaya Sifat Kibr dan Senioritas

Jabatan dan kedudukan tidak layak dijadikan alasan untuk berbangga diri apalagi mengusungkan dada “akulah orang besar”.

* Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang Telah dijanjikan Allah kepadamu".

*Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.

Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

*Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"

(QS. Fushilat/41 : 30-33)

Penghargaan Allah yang diberikan kepada kita tersebut bukan untuk dibanggakan, lalu merasa tinggi hati, apalagi ujub –na’udzubillah min dzalik- terhadap diri dan menyombongka diri dengan meremehkan orang lain. Semua itu perbuatan terlarang, bahkan tidak pantas rasanya seorang yang diberikan kemuliaan sebagai da’i melakukan sikap dan perbuatan seperti itu.

Sikap dan prilaku sombong serta merasa tinggi hati mengakibatkan kerusakan struktur hubungan antara sesama. Jika manusia saling merendahkan dan meremehkan yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada saling hormat, tidak ada kewibawaan, tidak ada trust (saling tsiqah), tidak ada etika, tidak menghormati tata susila, maka kehancuran dakwah akan melanda.

Mengapa kita berbangga dan sombong karena ilmu yang dimiliki? Sedangkan ilmu pada hakikatnya milik Allah, Dia mengajarkan kepada kita sedikit dari ilmu-Nya, maka justru ilmu itulah yang seharusnya memberikan rasa takut kepada Allah. Ataukah kita berbangga dan merasa tinggi hati karena amal-amal dan aktivitas ibadah yang begitu banyak??? Bukankah seharusnya semakin tinggi keimanan seseorang semakin ia merendahkan hatinya, baik kehadirat Allah swt maupun kepada manusia. Rendah hati dihadapan orang beriman dan tegas dihadapan orang kafir.

Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.

(QS. Asy Syura’ : 215)

Merasa lebih banyak amalnya, lebih tinggi kedudukannya di dalam gerakan dakwah karena merasa senior, akan menyebabkan dirinya lebih hina dan lebih buruk dalam pandangan Allah swt. Rasullah bersabda:

Jika kamu mendengar seseorang berkata : “semua orang rusak” maka dialah yang paling rusak.

(HR. Muslim)

Mari kita sejenak mempelajari kembali kisah pendahulu yang shalih dalam sifat rendah hati mereka. Tidak ada yang merasa lebih hebat betapapun tinggi ilmu yang mereka miliki. Mereka tidak merasa lebih senior betapapun mereka lebih dahulu berbuat dan aktivitas jihad mereka lebih banyak. Kita dapat meneladani ketawadhu’an Rasulullah sebagai pemimpin.

Kita mengenal Abdur Rahman bin Auf yang sangat disegani di kalangan kaumnya. Namun kepiawaian dan kesenioran beliau tidak membuat dirinya tinggi hati sampai kepada pelayannya sekalipun. Demikian juga kehebatan Imam Hasan Basri dalam ilimu agama tidak memperdayakan dirinya menjadi seorang yang ‘sok” dan merasa lebih hebat dihadapan teman-temannya.

Jabatan dan kedudukan tidak layak dijadikan alasan untuk berbangga diri apalagi mengusungkan dada “akulah orang besar”.

Ihkwah fillah,

Orang-orang yang berhimpun dalam mahabbah dan keridhaan Allah sejatinya mengenyahkan sifat sombong, ‘sok’, senioritas apalagi figuritas. Hiasilah setiap rutinitas amal kita dengan ketawadhu’an, rendah hati, selalu merasa memerlukan tambahan ilmu, pengalaman dan saling membutuhkan dengan sesamah ikhwah lainya.

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi Ini dengan sombong, Karena Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.

(QS. Al Isra’ : 37)

Bacaan : Seri Taujihat Pekanan PKS