Kemuliaan Ahli Ilmu

Suatu ketika, Abu Nawas, orang yang paling lucu di dunia, pernah ditanya oleh muridnya tentang kearifan orang yang menuntut ilmu. Abu Nawas menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban sebagai berikut :


“Ada tiga macam orang yang berilmu. Pertama, orang berilmu dengan penglihatannya. Ia akan mengatakan bahwa bintang di langit itu kecil. Kedua, orang berilmu dengan akalnya. Ia melihat bintang di langit itu besar, karena ia tahu ilmu astronomi. Ketiga, orang yang berilmu dengan hatinya. Ia tahu bahwa bintang di langit itu besar tapi ia mengatakan bintang itu kecil karena adanya kesadaran bahwa ada yang lebih besar dibandingkan dengan bintang di langit, yaitu Allah SWT.

Ikhwah,

Jawaban Abu Nawas tersebut mengajarkan kepada kita bahwa semakin tinggi ilmu yang kita miliki, maka semakin tunduk penglihatan dan akal pada hati kita. Hal ini semakna dengan pepatah padi ’semakin berisi semakin merunduk’ artinya semakin berilmu semakin tawadhu’. Apa yang menjadi keistimewaan orang yang berilmu luas bukanlah karena keluasan ilmunya, akan tetapi karena bagaimana orang tersebut bersikap dan memanfaatkan ilmunya bagi kemaslahatan.

Dikutip dari buku : Just Learn! And life will never be same again.

Bahaya Sifat Kibr dan Senioritas

Jabatan dan kedudukan tidak layak dijadikan alasan untuk berbangga diri apalagi mengusungkan dada “akulah orang besar”.

* Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang Telah dijanjikan Allah kepadamu".

*Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.

Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

*Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"

(QS. Fushilat/41 : 30-33)

Penghargaan Allah yang diberikan kepada kita tersebut bukan untuk dibanggakan, lalu merasa tinggi hati, apalagi ujub –na’udzubillah min dzalik- terhadap diri dan menyombongka diri dengan meremehkan orang lain. Semua itu perbuatan terlarang, bahkan tidak pantas rasanya seorang yang diberikan kemuliaan sebagai da’i melakukan sikap dan perbuatan seperti itu.

Sikap dan prilaku sombong serta merasa tinggi hati mengakibatkan kerusakan struktur hubungan antara sesama. Jika manusia saling merendahkan dan meremehkan yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada saling hormat, tidak ada kewibawaan, tidak ada trust (saling tsiqah), tidak ada etika, tidak menghormati tata susila, maka kehancuran dakwah akan melanda.

Mengapa kita berbangga dan sombong karena ilmu yang dimiliki? Sedangkan ilmu pada hakikatnya milik Allah, Dia mengajarkan kepada kita sedikit dari ilmu-Nya, maka justru ilmu itulah yang seharusnya memberikan rasa takut kepada Allah. Ataukah kita berbangga dan merasa tinggi hati karena amal-amal dan aktivitas ibadah yang begitu banyak??? Bukankah seharusnya semakin tinggi keimanan seseorang semakin ia merendahkan hatinya, baik kehadirat Allah swt maupun kepada manusia. Rendah hati dihadapan orang beriman dan tegas dihadapan orang kafir.

Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.

(QS. Asy Syura’ : 215)

Merasa lebih banyak amalnya, lebih tinggi kedudukannya di dalam gerakan dakwah karena merasa senior, akan menyebabkan dirinya lebih hina dan lebih buruk dalam pandangan Allah swt. Rasullah bersabda:

Jika kamu mendengar seseorang berkata : “semua orang rusak” maka dialah yang paling rusak.

(HR. Muslim)

Mari kita sejenak mempelajari kembali kisah pendahulu yang shalih dalam sifat rendah hati mereka. Tidak ada yang merasa lebih hebat betapapun tinggi ilmu yang mereka miliki. Mereka tidak merasa lebih senior betapapun mereka lebih dahulu berbuat dan aktivitas jihad mereka lebih banyak. Kita dapat meneladani ketawadhu’an Rasulullah sebagai pemimpin.

Kita mengenal Abdur Rahman bin Auf yang sangat disegani di kalangan kaumnya. Namun kepiawaian dan kesenioran beliau tidak membuat dirinya tinggi hati sampai kepada pelayannya sekalipun. Demikian juga kehebatan Imam Hasan Basri dalam ilimu agama tidak memperdayakan dirinya menjadi seorang yang ‘sok” dan merasa lebih hebat dihadapan teman-temannya.

Jabatan dan kedudukan tidak layak dijadikan alasan untuk berbangga diri apalagi mengusungkan dada “akulah orang besar”.

Ihkwah fillah,

Orang-orang yang berhimpun dalam mahabbah dan keridhaan Allah sejatinya mengenyahkan sifat sombong, ‘sok’, senioritas apalagi figuritas. Hiasilah setiap rutinitas amal kita dengan ketawadhu’an, rendah hati, selalu merasa memerlukan tambahan ilmu, pengalaman dan saling membutuhkan dengan sesamah ikhwah lainya.

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi Ini dengan sombong, Karena Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.

(QS. Al Isra’ : 37)

Bacaan : Seri Taujihat Pekanan PKS

Robohnya Dakwah di tangan Da'i

Dan ingatlah Perang Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu. Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun dan bumi yang luas ini terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai berai. (At Taubah: 25)

(Fenomena Kehancuran Gerakan Dakwah di wilayah Lebanon)

Hikmah itu barang hilang seorang mukmin, dimana pun ia menemukannya maka ia paling berhak mendapatkannya. (HR. Tirmizi)

Adalah suatu pelajaran berharga bagi para aktifis sebuah pergerakan dakwah. Perkembangan dakwah yang diiringi dengan perguliran dari fase kefase dakwah membuat para aktifis makin dewasa. Keberhasilan dakwah dimasa lalu adalah hadiah yang dititipkan pada kita, sedangkan fenomena kegagalan-kegagalannya adalah bumbu penyedap dalam proses berjalanya dakwah yang dapat dijadikan pelajaran para generasinya.

Kita bukan bagian dari penikmat dakwah setelah sekian banyak pengorbanan yang telah dilalui para muasis dakwah. Kita juga punya harga diri untuk tidak menjadi pengemis yang hanya mampu menagih dan memproates dari kegagalan mereka.

Indonesia mulai tersenyum diatas tetesan air mata kaum muslimin di palistina, diantara peluh yang bercucuran rakyat mesir. Mengapa kita “sombong” dengan sedikit kenikmatan yang Allah berikan hingga kita dengan bangga mengatakan “fase dakwah kami tinggal landas menuju marhalah daulah islamiyah”. Suatu berita bahagia bagi seluruh kaum muslimin di seluruh dunia. Mereka berharap kejayaaan Islam akan kembali melalui tangan-tangan para aktifis dakwah Indonesia.

Mari sejenak kita mengevaluasi kontribusi kita dalam dakwah, apakah kita sudah memberikan yang terbaik atau malah menjadi salah satu penyebab terhambatnya proses perkembangan dakwah itu sendiri. Evaluasi yang harus segera kita pelajari adalah kesiapan kita sebagai individu dalam menyongsong kemenangan dakwah yang diiringi kondisi keluarga yang berkarakter dan siap memikul setiap beban dakwah yang diamanahkan pada kita. Setelah itu, mari kita renungkan pelajaran yang dapat kita ambil dari penomena hancurnya pergerakan dakwah di timur tengah (Libanon).

Begitu banyak faktor yang melatar belakangi munculnya fenomena yang menghancurkan bangunan lembaga dakwah di Lebanon. Diantaranya adalah sebagai berikut.

Pertama, hilangnya Mana’ah I’tiqadiyah (imunitas keimanan) dan tidak tegaknya bangunan di atas fondasi pemikiran dan prinsip yang benar dan kokoh. Adakalanya sebuah organisasi hanya berwujud organisasi tokoh, yaitu sebuah organisasi yang tegak di atas landasan loyalitas kepada seorang pemimpin yang diagung-agungkan atau organisasi yang dibangun atas dasar figure seseorang.

Kedua, rekrutmen anggota yang hanya memperhatikan aspek kuantitas. Artinya bilangan anggota dan jumlah personel menjadi demikian menyibukkan dan menguras perhatian pemimpin. Ini karena anggapan bahwa jumlah yang banyak menjadi penentu sebuah kemenangan dan kejayaan. Di lain pihak ia tidak memahami bahwa banyaknya bilangan dan jumlah itu yang seringkali menjadi pemicu setiap problem dan pembakar api pertikaian.

Dan ingatlah Perang Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu. Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun dan bumi yang luas ini terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai berai. (At Taubah: 25)

Ketiga, salah satu penyebab runtuhnya bangunan organisasi di negeri-negeri Islam adalah karena tergesa-gesa ingin meraih kemenangan, meskipun tidak diimbangi dengan sarana dan kondisi kesiapan kader. Kekuasaan seringkali dijadikan orientasi singkat oleh para aktifis, karena beranggapan denga kekuasaan, seluruh problem dakwah akan selesai. Kita tidak menyadari bahwa sesungguhnya kekuasan itulah pemicu benacana bagi gerakan dakwah.

Keempat, munculnya pusat-pusat kekuatan, aliran dan sayap-sayap gerakan dalam tubuh organisasi yang dapat menjadi pemicu pertikaian dalam bangunan organisasi karena berebut pengaruh dan kekuasaaan untuk meraih ambisi-ambisi pribadi.

Kelima, lemah atau bahkan tiadanya kesadaran politik dalam gerakan dakwah. Sebuah gerakan apabila tidak memiliki kesadaran politik yang tinggi dan baik, tidak bisa hidup mengimbangi zaman, tidak memahami kejadian yang ada di sekelilingnya, terkecoh oleh fenomena permukaan, lupa mengkaji apa dibalik peristiwa, tidak mampu merumuskan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai peristiwa global, tidak bisa membuat footnote setelah membaca “teks”, tidak mampu meletakkan kebijakan politik lokal berdasarkan kondisi-kondisi politis internasional dan lai-lain kepekaan. Kalau sebuah gerakan memiliki kelemahan pemahaman seperti itu, di saat arah politik tumpang tindih dan keserakahan demikian merajalela, yang tampak di permukaan tidak lagi mencerminkan isinya, maka ia akan menjadi gerakan yang langkahnya terseok, sikap-sikapnya yang kontradiktif dan mudah terbawa arus.

Ikhwah fillah,

Jalan dakwah ini adalah jalan panjang. Sebuah perubahan yang membutuhkan sepuluh tahun tidak mungkin diwujudkan hanya satu tahun. Segala sesuatu yang membutuhkan ratusan tahun tidak bisa direalisasikan hanya dengan puluhan tahun. Perubahan Islam dalam bentuk yang khusus bukan sekedar masalah perpindahan atau mengubah bentuk, tetapi ia mengganti dengan realitas baru.

Imam Hasan Al Banna telah mengisyaratkan hal ini dalam risalah Muktamar Khamis. Beliau berkaa: “wahai Ikhwan, terutama mereka yang bersemangat dan tergesa-gesa diantara kalian. Dengarkan suara lantangku, bahwa jalan kalian ini langkahnya telah digoreskan, batas-batasnya telah diletakan. Saya tidak melanggar batas-batas ini, yang telah saya yakini bahwa ia adalah jalan yang paling selamat untuk sampai ketujuan. Tentu saja jalannya begitu panjang, namun memang tidak ada jalan selainnya. Sesungguhnya kepahlawanan itu hanya dapat terlihat melalui kesabaran, ketahanan, kesungguhan, dan kerja yang tak kenal lelah. Barang siapa diantara kalian tergesa-gesa ingin menikmati buah sebelum masak atau memetik bunga sebelum mekar, maka aku tidak bersamanya sejenakpun. Ia lebih baik minggir dari dakwah ini untuk mencari medan yang lain.

Barang siapa bersabar bersamaku hingga tunas bersemi, pohon tumbuh, buah matang dan layak petik, maka pahalanya di sisi Allah. Sekali-kali tidak akan lepas dari kami dan darinya pahala orang-orang yang berbuat kebajikan. Hanya ada dua hal; kemenangan dan kekuasaan atau mati syahid dan kebahagiaan.

Sumber: Robohnya dakwah ditangan da’I oleh Fathi Yakan.



Muara Enim

Kabupaten Muara Enim adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan. Ibukota kabupaten ini terletak di Muara Enim. Wilayah kabupaten Muara Enim di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Musi Banyuasin, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Ogan komering ilir sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Musi Rawas dan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Ogan Komering Ulu. Luas wilayah Kabupaten Muara Enim 9.575 Km2 yang terbagi menjadi sebelas kecamatan.

Sejarah menyebutkan Kabupaten Muara Enim semasa pemerintahan Hindia Belanda, kebijakan dan politik pemerintahannya masih menggunakan sistem sentralisasi dibawah arus Etsche politik yang kemudian dikembangkan dalam sistem pemerintahan dekosentrasi. Dari dua sistem tersebut telah melahirkan beberapa marga-marga. Disepanjang Sungai Enim mulai dari Marga Semende Darat hingga Marga Tebelang patang Puluh Bububg dan marga-marga disepanjang Sungai Lematang yang digabung menajdi satu wilayah admiistrasi dengan marga Lematang Ilir yang berstatus otonomi daerah dengan kepala pemerintahannya disebut controlleur yang tunduk kepada Afdeeling Palembang Schebeven Lauden yang pada saat itu asisten residennya berkedudukan di Lahat.

Lalu pada masa kedudukan Jepang di ubah menjadi Lematang Simo Gunyang berada di Lahat Sico yang kemudian dibagi wilayah administrasi dengan nama Lematang Ogan Tengah. Pada masa perang fisik dikenal dengan nama Kewedanan Lematang Tengah yang wilayahnya meliputi 14 Marga dan sebagian besar Marganya dalam Onder Afdeeling Lematang Ilir dan sebahagian lagi dalam Onder Afdeeling Ogan Ulu dan Marga Pemerintahan Onder Afdeeling sekayu. Pada masa Proklamasi 17 Agustus 1945, Wilayah Lematang Ilir dan Wilayah Ogan tengah melalui keputusan Dewan Kepresidenan Palembang pada 20 November 1946 wilayah administrasi Kedewanan Lematang Ilir tidak tidak digabungkan lagi dengan Kabupaten Lahat, selanjutnya dijadikan administratif sendiri dengan Kedewanan diberi nama Lematang Ilir dan Lematang Ogan tengah yang disingkat LIOT.

Bertitik tolak dari sejarah tersebut dengan perda Kabupaten Muara Enim, Lematang Ilir Ogan Tengah dengan No. I/DPRED/1974 tangal 20 November 1974, ditetapkan menjadi Hari Jadi Kabupaten Muara Enim yang jatuh pada 20 November 1946.

Batu bara merupakan komoditas pertambangan yang memberi kontribusi cukup besar dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan daerah muara enim. Produksinya yang mencapai sekitar 10 juta ton per tahun sebagian besar dikonsumsi oleh kegiatan perlistrikan tenaga uap. Sementara cadangannya yang sekitar lima milyar ton masih cukup untuk puluhan tahun kedepan. Diluar potensi batu bara dan migas sebagai daya yang tidak bertahan lama, potensi ekonomi Muara Enim masih bisa bertumpu pada sektor pertanian dan pariwisata.

Dari luas wilayah 957,5 ribu hektar, 96,9 persen diantaranya merupakan lahan kering dan sisanya lahan sawah. Bisa dikatakan menanam padi bukanlah pilihan utama penduduk, melainkan pada usaha perkebunan. Subsektor perkebunan memiliki peluang berkembang yang pesat bahkan mungkin bisa menggeser dominasi sektor pertambangan beberapa tahun mendatang. Apalagi kalau areal bekas penambangan batu bara direklamasi dan ditanami tanaman perkebunan. Sejak tiga tahun lalu, selain komoditas utama perkebunan, tanaman perkebunan lainnya seperti tanaman nilam mulai dikembangkan. Peluang mengembangkan tanaman nilam yang digunakan sebagai bahan obat-obatan dan wewangian di Muara Enim ini semakin terbuka lebar karena tanaman ini bernilai jual tinggi di pasaran dunia.

Sementara di bidang pariwisata, Muara Enim mempunyai potensi wisata alam dan sejarah. Seperti air terjun Curug Tenang di Desa Bedegung Kecamatan Tanjung Agung, sumber air panas Gemuhak di Desa Penindaian Kecamatan Semendo, Curug Ambatan Pulau di Kecamatan Tanjung Agung, Danau Segayam di Kecamatan Gelumbang dan komplek percandian Kebun Undang yang berlatar belakang agama Hindu di Kecamatan Tanah Abang. Yang tak kalah menarik, bila kita memasuki Muara Enimdari Kota Palembang akan dijumpai pemandangan seperti perjalanan Jakarta Puncak. Di sepanjang perjalanan terdapat pondok-pondok pedagang yang menjual buah-buahan menurut panennya, seperti sawo, jeruk, nenas dan semangka.

Kemenangan Dakwah

Penentu kemenangan dan kekuatan kaum muslimin bukan semata-mata karena strategi yang handal, kelengkapan persenjataan, banyaknya pengikut, penguasaan teknologi atau ekonomi, tapi terletak pada ketaatan akan perintah Allah.

Sejarah telah membuktikan, yaitu saat penyerahan kunci Jerusalem oleh pendeta kristen, Sophronius, pada tahun 16H (636/637 M) kepada seseorang yang tanda-tandanya telah tertulis di dalam kitab mereka, Umar bin Khathab ra. Dikabarkan bahwa sebulan sebelum kedatangan beberapa pasukan besar yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, Abu Ubaidah dan Amr bin Al-Ash radhiallaahu anhum sampai ke Jerusalem mereka sudah merasa gentar.

Mereka mengirim mata-mata untuk melihat keadaan pasukan Islam. Senjata, perbekalan dan jumlah mereka. Setelah mendapatkan laporan bahwa jumlah pasukan, senjata dan perbekalan pasukan Islam tidak sebanyak yang mereka miliki maka panglima perang mereka merasa yakin masih ada harapan memukul mundur dan mengalahkan tentara Islam.

Tapi pendeta mereka menahan mereka dengan meminta supaya mereka mengirimkan mata-mata lagi untuk melihat apa yang menjadi kebiasaan para Sahabat. Setelah mata-mata tersebut kembali pendeta itu menanyakan, apa yang biasa mereka lakukan di siang hari, dan apa yang selalu mereka lakukan di malam hari.

Mata-mata itu berkata, "Di siang hari mereka mengunjungi khalayak ramai dan menyeru kepada Agama dan Tuhan mereka dan ketika di malam hari mereka berdiri dan bersujud menyembah Tuhan mereka". Pendeta itu mengatakan, "Kalau begitu kita tidak akan mungkin dapat mengalahkan mereka".

"Bagaimana kita tidak dapat mengalahkan mereka, pasukan kita lebih banyak dari mereka, senjata kita lebih baik dari milik mereka", kata panglima perang. "Kalian tidak akan dapat mengalahkan mereka", kata pendeta tersebut. "Adakah cara untuk mengalahkan mereka", tanya panglima perang lagi.

Pendeta tersebut berkata, "Kalian tidak dapat mengalahkan mereka dan itu sudah tertulis di dalam kitab kita bahwa mereka akan menguasai negeri ini kecuali...". "Apa?", tanya panglima perang itu. "Kecuali kalau hati mereka telah cenderung kepada dua perkara, harta benda dunia dan wanita. Dan kita akan uji mereka dengan dua perkara itu", kata sang pendeta itu lagi.

Maka dikirimlah satu utusan ke daerah di mana pasukan Islam bermarkas. Mereka membuat rencana. Di antara perkemahan dan tempat pasukan Islam melakukan sholat mereka tebarkan harta, emas dan intan berlian, sementara itu pasukan nasrani ini juga memajang anak-anak gadis mereka dalam keadaan setengah telanjang agar pasukan Islam tertarik dan menjadi lemah.

Mereka punya makar tetapi Allah SWT juga mempunyai makar. Allah SWT telah mengilhamkan kepada panglima perang Islam untuk memberikan nasihat (targhib) kepada pasukannya. Kemudian Panglima perang pasukan kaum Muslimin hanya menyampaikan satu ayat Al-Qur'an saja, ayat 30 surah An-Nur,"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".

Tidak lebih dari itu. Mereka yang memang dalam kesehariannya sudah mengamalkan apa yang terkandung di dalam Al-Qur'an yang menjadi perintah Allah, setelah mendengar apa yang disampaikan oleh pimpinan mereka maka mereka bertambah-tambah lagi menjaga dan melaksanakan perintah Allah ta'ala tersebut.

Sehingga ketika mereka melalui jalan yang telah disebar di atasnya harta benda dan anak-anak gadis telanjang berbaris tidak menyebabkan mereka tergoda.

Maka tatkala dikumpulkan semua pemilik harta dan gadis-gadis pilihan tersebut untuk dimintai keterangan, tidak ada satu hartapun yang telah ditebar hilang dan ketika para gadis itu diminta agar tidak malu mengatakan apakah mereka telah diganggu, dilihat atau bahkan dizinai. Maka mereka berkata, "Kepada siapa sesunguhnya kami dipertontonkan? Apakah mereka itu batu atau apa? Jangankan disentuh atau dipegang, melirik dengan ujung matapun tidak!"

Begitulah keadaan kaum muslimin dahulu. Allah SWT menurunkan pertolongan-Nya bukan karena jumlah mereka banyak, gizi yang cukup, fasilitas lengkap atau persenjataan canggih, tetapi karena mereka melaksanakan perintah Allah SWT.

Segala permasalahan ummat yang ada sekarang ini hanya akan selesai jika setiap kita melaksanakan semua perintah Allah SWT. Dan semua itu berawal dari keimanan bukan karena masalah yang lain. Iman akan didapat hanya dengan mujahadah. Iman akan tersebar hanya dengan Da'wah. Iman akan terjaga hanya dengan bi'ah.

Allah SWT telah menyampaikan bahwa sesungguhnya orang-orang yang bermujahadah bagi mereka pasti dan pasti Kami berikan jalan-jalan hidayah. Jadi. 'Izzah ummat Islam hanya akan kembali apabila tiap kita dan seluruh ummat Islam bergerak. Bergerak sebagaimana "assabiquunal awwaluun" bergerak. Hanya dengan Da'wah dan Jihad.

By. Aidil haryana

Ikhwanul Muslimin

“Kami menginginkan terbentuknya sosok individu muslim, rumah tangga Islami, bangsa yang Islami, pemerintahan yang Islami, negara yang dipimpin oleh negara-negara Islam, menyatukan perpecahan kaum muslimin dan negara mereka yang terampas, kemudian membawa bendera jihad dan dakwah kepada Allah sehingga dunia mendapatkan ketenteraman dengan ajaran-ajaran Islam.”

Al-Ikhwanul muslimun adalah salah satu jamaah dari umat Islam, mengajak dan menuntut ditegakkannya syariat Allah, hidup di bawah naungan Islam, seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw, dan diserukan oleh para salafush-shalih, bekerja dengannya dan untuknya, keyakinan yang bersih menghujam dalam sanubari, pemahaman yang benar yang merasuk dalam akal dan fikrah, syariah yang mengatur al-jawarih (anggota tubuh), perilaku dan politik. Mereka berdakwah kepada Allah. Komitmen dengan firman Allah Taala,

“Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik” (An-Nahl:125)

Dialog yang konstruktif, sebagai jalan menuju kepuasan dan memberikan kepuasan bersandarkan pada al-hujjah (alasan), al-mantiq (logika), al-bayyinah (jelas), dan ad-dalil (dalil).

Kebebasan adalah keniscayaan, hak mendasar yang telah Allah anugerahkan kepada setiap hamba-Nya, meski kulit, bahasa dan aqidah mereka berbeda; Kebebasan berkeyakinan, beribadah, mengungkapkan pendapat, berpartisipasi dalam membuat keputusan, dan hak untuk memilih dari beberapa pilihan secara bebas dan bersih, sehingga tidak boleh ada pengekangan hak untuk mendapatkan kebebasan, hak mendapatkan ketenangan, sebagaimana seseorang tidak boleh berdiam diri dan pasrah pada setiap permusuhan atau pengekangan terhadap kebebasannya.

lmu merupakan salah satu pondasi tegaknya daulah Islamiyah, berprestasi tinggi bagian dari kewajiban setiap umat agar dapat beramal menuju pengokohan iman dan sarana kemajuan umat, mendapatkan ketenangan, merasakan kebebasan, menghadang permusuhan, menunaikan risalah alamiyah (da’wah) seperti yang telah Allah gariskan, memantapkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran perdamaian, menghadang kediktatoran, imperialisme, kezhaliman, dan perampasan kekayaan bangsa.

Dasar dari pendidikan, konsep, akhlaq, fadhail, undang-undang, sistem, jaminan, nilai-nilai, dan perbaikan adalah Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya yang jika keduanya dipegang oleh umat maka tidak akan sesat selamanya.

Islam menurut pemahaman Al-Ikhwanul Muslimun adalah sistem yang mengatur segala urusan kehidupan berbangsa dan bernegara, mengatur hajat hidup manusia sepanjang masa, waktu dan tempat. Islam lebih sempurna dan lebih mulia dibanding perhiasan kehidupan dunia, khususnya pada masalah duniawi, karena Islam meletakkan kaidah-kaidah secara sempurna pada setiap bagiannya, memberikan petunjuk ke jalan yang lurus dijadikan sebagai manhajul hayat (life style), dipraktekkan dan selalu berada di atas relnya.

Jika shalat merupakan tiang agama, maka al-jihad adalah puncak kemuliaannya, Allah adalah tujuan, Rasul adalah teladan, pemimpin dan panutan, sedangkan mati di jalan Allah adalah cita-cita yang paling mulia.

Jika keadilan menurut Al-Ikhwan adalah salah satu tonggak setiap negara, maka persamaan merupakan bagian dari karakteristiknya, dan undang-undang yang bersumber dari syariat Allah; agar dapat merealisasikan keadilan yang mempertegas adanya persamaan.

Hubungan antara bangsa, negara, dan umat manusia adalah hubungan gotong royong, saling membantu, dan bertukar pikiran, sebagai jalan dan sarana kemajuan berdasarkan persaudaraan, tidak ada intervensi, tidak ada pemaksaan kehendak, kekuasaan dan kediktatoran atau pengkerdilan hak orang lain.

Al-Ikhwanul Muslimun adalah jamaah yang memiliki cita-cita, mencintai kebaikan, bangsa yang tertindas, dan umat Islam yang terampas hak-haknya.

Dakwah mereka adalah salafiyah, karena mereka selalu mengajak umat untuk kembali kepada Islam, kepada penuntunnya yang suci, kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Sebagaimana Al-Ikhwan adalah thariqah sunniyah (beraliran sunni), karena membawa jiwa mereka pada perbuatan dan dalam segala urusan sesuai dengan sunnah yang suci khususnya pada masalah aqidah dan ibadah.

Al-Ikhwan adalah jamaah shufiyah, mereka memahami bahwa dasar kebaikan adalah kesucian jiwa, kebersihan hati, kelapangan dada, kewajiban beramal, jauh dari akhlaq tercela, cinta karena Allah dan ukhuwah karena Allah.

Al-Ikhwan juga merupakan jamaah yang bergerak dalam bidang politik, yang menuntut ditegakkannya reformasi dalam pemerintahan, merevisi hubungan negara dengan yang lainnya, dan membina umat pada kemuliaan dan kehormatan diri.

Al-Ikhwan adalah jamaah yang memiliki vitalitas tinggi, memperhatikan kesehatan, menyadari bahwa mukmin yang kuat lebih baik dari mukmin yang lemah, dan berkomitmen dengan sabda nabi saw, “Sesungguhnya badanmu memiliki hak atas dirimu”, dan menyadari bahwa kewajiban-kewajiban dalam Islam tidak akan terlaksana kecuali dengan fisik yang kuat, hati yang penuh dengan iman, akal yang diisi dengan pemahaman yang benar.

Al-Ikhwan adalah jamaah persatuan keilmuan dan tsaqafah, karena ilmu dalam Islam merupakan kewajiban yang harus dikuasai, dicari walau hingga ke negeri cina, negara akan bangkit karena iman dan ilmu.

Al-Ikhwan adalah jamaah yang memiliki ideologi kemasyarakatan, memperhatikan penyakit-penyakit yang menjangkit masyarakat dan berusaha mengobati dan mencari solusinya serta menyembuhkannya.

Al-Ikhwan adalah jamaah yang memiliki kebersamaan ekonomi, karena Islam adalah agama yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan harta dan cara memperolehnya, nabi saw bersabda, “Sebaik-baik harta adalah milik orang yang shalih. Barangsiapa yang pada sore harinya mencari nafkah dengan tangannya sendiri maka ampunan Allah baginya.”

Pemahaman ini menegaskan kesempurnaan makna Islam, keuniversalan dalam segala kondisi dan sisi kehidupan, pada segala urusan dunia dan akhirat.

Misi dan Tujuan Al-Ikhwan Al-Muslimun

Imam Al-Banna menyampaikan misi dan tujuan yang ingin dicapai jamaah, beliau berkata:

“Kami menginginkan terbentuknya sosok individu muslim, rumah tangga Islami, bangsa yang Islami, pemerintahan yang Islami, negara yang dipimpin oleh negara-negara Islam, menyatukan perpecahan kaum muslimin dan negara mereka yang terampas, kemudian membawa bendera jihad dan dakwah kepada Allah sehingga dunia mendapatkan ketenteraman dengan ajaran-ajaran Islam.”

Sebagaimana beliau juga memfokuskan dua target utama:

“Saya ingatkan untuk kalian dua tujuan utama:

1. Membebaskan negeri Islam dari kekuasaan asing, karena merupakan hak alami setiap manusia yang tidak boleh dipungkiri kecuali orang yang zhalim, jahat atau biadab.

2. Mendirikan negara Islam, yang bebas dalam menerapkan hukum Islam dan sistem yang Islami, memproklamirkan prinsip-prinsip yang mulia, menyampaikan dakwah dengan bijak kepada umat manusia. Jika hal ini tidak terwujudkan maka seluruh kaum muslimin berdosa, akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung karena keengganan mendirikan daulah Islam dan hanya berdiam diri.”

Sumber : (tarbiyah pewaris )

Nasihat Imam Ghozali

Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya, pertama,"Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?".

Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya. Imam Ghozali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "Mati". Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati.

Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua. "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?". Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar adalah "Masa Lalu". Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. "Apa yang paling besar di dunia ini?". Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "Nafsu" (Al A'Raf 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.

Pertanyaan keempat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?".Ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban sampean benar, kata Iimam Ghozali, tapi yang paling berat adalah "memegang AMANAH" (Al Ahzab 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak bisa memegang amanahnya.

Pertanyaan yang kelima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?".Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah "Meninggalkan Sholat". Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan sholat, gara-gara meeting kita tinggalkan sholat.

Lantas pertanyaan ke enam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?". Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang... Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah "Lidah Manusia". Karena melalui lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri. (www.tarbiyah.net)

Amanah


Perlu diingat bahwa menjaga kepercayaan (amanah) lebih sulit dari mencarinya. Maka tetapkan hati pada amanah yang telah Allah berikan kepada kita, tekadkan jiwa untuk menjaga amanah dari manusia. Berhati-hatilah dengan amanah dari manusia karena boleh jadi amanah itulah yang akan menghantarkan kita kejurang neraka.


Teringat kejadian tahun 2008 silam saat menjabat sebagai ketua Tim Tutorial PAI UNY, karena tulisan “amanah” dalam surat keterangan pengurus Tutorial yang dibuat untuk keperluan kerja sempat tidak ditanda tangani oleh Pembantu Rektor 1 (sekarang Rektor UNY). Itulah birokrasi yang berbeda memaknai sebuah arti jabatan, bagi aktifis dakwah jabatan adalah sebuah amanah yang akan dipertanggungjawaban dihadapan Allah swt. Memang sih ini murni kesalahan sekretarisku karena menulis kata "amanah" sebagai ganti "jabatan" dalam surat formal.

“Sesungguhnya Kami menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung. Namun mereka menolak dan khawatir untuk memikulnya. Dan dipikulah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim lagi amat bodoh.” (Al-Ahzab : 72)

Amanah adalah tuntutan iman. Dan khianat adalah salah satu ciri kekafiran. Sabda Rasulullah saw. ”Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (HR. Ahmad dan ibnu Hibban).

Barang siapa yang hatinya kehilangan sifat amanah maka ia akan menjadi orang yang mudah berdusta dan khianat. Dan barang siapa yang memiliki sifat dusta dan khianat, dia berada dalam barisan orang-orang munafiq. Disia-siakanya amanah merupakan salah satu tanda-tanda datangnya hari kiamat.

Rasulullah bersabda ;

Jika amanah diabaikan maka tunggulah kiamat.” Sahabat bertanya, ”bagaimanakah amanah itu disia-siakan, wahai Rasulullah? ” Rasulullah menjawab, ”Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancuran.” (HR. Bukhori)

Macam-macam amanah

Pertama, amanah fitrah. Allah swt menjadikan fitrah manusia cenderung kepada tauhid, kebenaran, dan kebaikan. Akan tetapi adanya fitrah bukanlah jaminan bahwa setip orang akan selalu berada dalam kebenaran dan kebaikan. Sebab fitrah bisa saja terselimuti kepekatan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati. Untuk itulah manusia harus memperjuangkan amanah fitrah tersebut agar tetap menjadi kekuatan dalam menegakkan kebenaran.

Kedua adalah amanah taklif syar’i (amanah yang diembankan oleh syari’at). Allah swt. telah menjadikan ketaatan terhadap syari’atnya sebagai batu ujian kehambaan seseorang kepada-Nya. Allah akan melihat ketaatan hamba-Nya dalam melaksanakan syari’at yang telah Allah tetapkan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ketiaga, amanah dakwah. Selain melaksanakan ajaran Islam, seseorang muslim memikul amanah untuk mendakwahkan (menyeru) manusia kepada kalimat tauhid. Seorang muslim bukanlah orang yang merasa puas dengan keshalihan dirinya sendiri. Ia akan terus berusaha untuk menyebarkan hidayah Allah kepad segenap manusia.

Rasulullah saw bersabda;, ”Jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan usahamu, maka hal itu pahalanya bagi mu lebih baik dibandingkan dengan dunia dan segala isinya”. (al-hadits)

Yang terakhir adalah amanah tafaqquh fiddin (mendalami agama) sebagaimana Allah swt menjelaskan dalam firman-Nya :

”Tidaklah sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (QS. At-Taubah : 122).

Ikhwah fillah,

Perlu menjadi evaluasi bersama, bahwa amanah itu bukan hanya sesuatu yang bersifat hubungan vertikal kepada Allah yang akan dipertanggungjawabkan di hari akhir saja akan tetapi amanah yang bersifat hubungan horizontal kita kepada sesama manusia pun perlu kita perhatikan. Bagi kita yang diberi kepercayaan memimpin organisasi, maka yakinkan bahwa itu adalah amanah yang akan diminta pertanggung jawaban dihadapan manusia dan dihadapan Allah. Seorang mahasiswa amanahnya adalah menuntut ilmu yang akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah dan orang tuanya sebagai saksi didunia.

Bentuk pertanggung jawaban kita kepada sesama manusia harus dilakukan secara profesional. Begitu jua pelaporan amanah kita pada orang tua bagi mahasiswa harus bisa berwujud ijazah atau sertifikat dan dapat dirasakan oleh mereka. Kalau pun aktivitas kuliah kita berupa dakawah, maka itupun mesti ada ijazah atau sertifikatnya dan harus merekapun merasakan hasil dari dakwah itu. Perlu dingat bahwa menjaga kepercayaan (amanah) lebih sulit dari mencarinya. Maka tetapkan hati pada amanah yang telah Allah berikan kepada kita, tekadkan jiwa untuk menjaga amanah dari manusia. Berhati-hatilah dengan amanah dari manusia karena boleh jadi amanah itulah yang akan menghantarkan kita kejurang neraka.

Dipenutup tulisan ini, mari kita renungkan kembali sebuah hadist dibawah ini. Semoga kita senatiasa diberikan kekuatan dalam menjalani amanah yang telah diembankan kepada manusia.

”Setiap kalian adalah pemimpin dan karenanya akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Amir adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang mereka. Lelaki adalah pemimpin di tengah keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan atas anak-anaknya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentangnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang itu. Dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” (Muttafaq ’Alih)

Topeng


Topeng merupakan suatu alat yang digunakan manusia untuk menyembunyikan wajah aslinya. Dengan topeng itu seseorang dapat menyetel bentuk wajah yang ingin ditampilkannya. Ada wajah sedih, pucat, murung yang disertai wajah memelas untuk memdapati simpati dan belas kasihan orang lain, ada juga wajah seram, bengis, sombong dan sok berwibawa saat operasi tilang kendaraan bermotor. Beda lagi pada saat menjelang pemilihan umum, para politisi pasang wajah yang ceria dan senyum sumeringah serta tebar pesona. Laksana dunia perfilman, orang pun tertipu dengan acting yang mempesona.

Didalam dunia kejahatan, para perampok biasa menyembunyikan wajah aslinya di balik topeng. Hingga orang pun bisa salah menduga, karena pelaku kejahatan seperti itu biasanya orang dekat korban, keluarga atau orang dalam.

Diera sekarang ini setiap manusia hampir semuanya menggunakan topeng, topeng ini tergolong canggih karena ia tidak terlihat dan bahkan penggunanyapun terkadang tidak mengetahui kalau ia sedang menggunakan topeng. Karena siapapun tidak bisa membedakan apakah seseorang sedang bertopeng atau tidak.

Kita pun mengira seseorang begitu ramah, padahal ia pemarah. Kita mengira seseorang sedang berjuang, padahal ia sedang cari popularitas. Kita mengira seseorang begitu dermawan, padahal ia pencuri ulung kesempatan. Kita mengira seseorang pembela rakyat kecil, padahal ia pemeras darah rakyat. Dan bahkan kita mengira ia sedang berdakwah, padahal ia sedang mencari kesempatan untuk berkuasa.

Ketika topeng digunakan untuk menyembunyikan dari perilaku buruknya, Islam menyebutnya munafik. Allah swt. mengancam para pengguna topeng seperti ini “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan paling bawah dari neraka. Dan kamu tidak akan mendapatkan penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisaa: 145)

Berhati-hatilah dengan topeng. Karena tanpa topeng pun, manusia sebenarnya sudah terbiasa memakai topeng.

Doa' Jibril

Hadis Riwayat Bukhori Muslim dari Huzaifah dan Annas ra

Suatu ketika di malam hari raya iedul fitri seperti biasanya Rasul dan para sahabat membaca Takbir,Tahmid dan Tahlil di Masjidil Haram. Saat sedang bertakbir, tiba- tiba rasulallah keluar dari kelompok dan menepih kearah dinding. Kemudian Rasullah mengangkat kedua tangannya ( layaknya orang berdoa ) saat itu Rasul mengatakan amin sampai tiga kali.

Setelah Rasul mengusapkan kedua tangan diwajahnya ( layaknya orang selesai berdoa ) para sahabat mendekat dan bertanya : Ya Rasul apa yang terjadi sehingga engkau mengangkat kedua belah tanganmu sambil mengatakan amien sampai tiga kali ?

Jawab Rasul : Tadi saya didatangi Jibril dan meminta saya mengaminkan doanya.?

Apa gerangan doa yang dibacakan Jibril itu ya Rasul ? tanya sahabat kemudian Rasul menjawab : Kalau kalian ingin tahu inilah doa yang disampaikan Jibril dan saya mengaminkan?
  1. Ya Allah ya Tuhan kami Janganlah diterima amal Ibadah kaum Muslimin selama bulan Ramadhan apabila dia masih bersalah kepada orang tuanya dan belum dimaafkan?. Rasul mengatakan Amien
  2. Ya Allah ya Tuhan kami Janganlah diterima amal ibadah kaum muslimin selama bulan Ramadhan apabila suami isteri masih berselisih dan belum saling memaafkan.? Rasul mengatakan amien
  3. Ya Allah ya Tuhan kami janganlah diterima amal Ibadah kaum Muslimin selama bulan Ramadhan apabila dia dengan tetangga dan kerabatnya masih berselisih dan belum saling Memaafkan.? Rasul mengatakan amien
Demikianlah doa yang dibaca Jibril sehingga Rasul mengaminkan sampai tiga kali. Namun disini ada 4 Faktor yang membuat doa tersebut pasti dikabulkan Allah yaitu:
  1. Yang berdoa Jibril Mahluk yang sejak diciptakan tidak pernah membantah dan berbuat dosa kepada Allah
  2. Yang mengaminkan doa tersebut Muhammad manusia Ma?sum yang telah diampuni semua dosanya
  3. Tempat berdoa adalah Masjidilharam tempat yang mendapat berkah dari Allah
  4. Waktu berdoa adalah malam iedul fitri yaitu satu diantara sepuluh malam jika kita berdoa langsung di ijabah oleh Allah.
Jadi jika kita ingin Amal ibadah kita di bulan Ramadhan ini diterima Allah maka hindarilah tiga yang diatas. Karena selama tiga persoalan diatas belum diselesaikan maka amal ibadah kita selama bulan ramadhan masih dipending oleh Allah sampai kita menyelesaikannya.

Belaian Ibu

Naluri keibuan amat mendalam
Jiwa insan yang mendambakan kebahagiaan

Oh… Ibu
Dibahumu tegaklas beban
Perjalananmu penuh rintangan
Kau titipkan kasih sayang
Sejujur pengorbanan
Tak ku nafikan…

Disaat kita berjauhan
Rasa ingin ku berlari
Mendakapimu penuh girang
Masih kecil kehilangan

Kau insan penyang
Betapaku merindu
Lembutnya belaian ibu
Membuatku terlena ...

Diwajahmu berolah tenang
Debar didada kau rahasiakan
Ku pastikan dikau aman
Di dunia sejahtera
Tak kulupakan ...

Tiada aku tanpa ibu
Hanya kau satu di dunia
Bertahta dikau dijiwaku
Kaulah ibu yang tercinta

Kau insan pengasih
Betapaku mengharap hadirnya restumu ibu
Membawaku kesyurga

Bersemi ...
Belaian kasih sayang nan berpanjangan
Dari mu insan yang mendoakan kebahagiaan anak-anakmu
Oh Ibu....

Keikhlasan di jalan Dakwah

“Siapa yang paling berjasa dalam Dakwah ???”


Dari Abdullah Bin Zaid, bahwa Rasulullah saw., saat menaklukkan Hunain, membagi-bagikan ganimah (harta pampasan perang). Beliau memberi orang-orang yang hatinya sedang dijinakkan (muallafatu qulubuhum). Lalu sampai (berita) kepada beliau bahwa orang-orang Anshar pun ingin memperoleh apa yang diperoleh orang lain. Maka bangkitlah Rasulullah saw. berkhutbah seraya memuji dan menyanjung Allah lalu mengatakan, “Wahai segenap orang Anshar, bukankah dahulu aku menemukan kalian dalam keadaan tersesat lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian dengan perantaraanku; kalian papa lalu Allah memberi kalian kecukupan dengan perantaraanku; kalian terpecah-belah lalu Allah mempersatukan kalian dengan perantaraanku?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nyalah yang paling banyak jasanya.” (Shahih Muslim juz II: 738)

Kemenangan yang diraih dalam perjuangan dapat menggoda sebagian orang untuk mengklaim-baik secara eksplisit maupun implisit– bahwa dirinyalah yang paling berjasa untuk kemenangan itu. Atau, kalaupun bukan merasa yang paling berjasa, paling tidak mengklaim bahwa dirinya berada dalam jajaran orang-orang berjasa. Dan karenanya, jama’ah dakwah diuntungkan dan berhutang jasa terhadap dirinya. Dalam perasaannya, wajar-bahkan ada yang menganggap harus-bila jam’ah dakwah memberikan kompensasi-kompensasi atas perjuangannya itu.

Tampaknya perasaan semacam itu manusiawi. Buktinya hal itu pernah pula terjadi pada masyarakat Islam terbaik yakni generasi sahabat Rasulullah saw. Hadits yang tertulis di atas adalah bagian dari nasihat yang disampaikan Rasulullah saw. kepada kaum Anshar. Secara lebih lengkap, Ibnu Hisyam dalam kitab sirahnya mencatat sebagai berikut:

Berawal dari cara Rasulullah saw. membagi-bagikan ganimah (harta rampasan perang) Hunain. Beliau membagi justru kepada orang-orang yang baru masuk Islam pada saat penaklukan Makkah (Fathu Makkah), yang notabene belum banyak perngorbanannya. Bahkan pada perang Hunain itu justru merekalah yang pertama lari tunggang-langgang saat mendapat gempuran awal dari musuh. Sedangkan orang-orang yang sudah sejak awal turut berjuang dan malang-melintang dalam kancah jihad, kaum Anshar, tidak mendapatkan sedikit pun dari ganimah itu. Sampai-sampai seseorang dari kalangan Anshar berkata kepada sesama mereka, “Sekarang Rasulullah saw. sudah bertemu dengan kaumnya.”

Desas-desus itu akhirnya sampai kepada Rasulullah saw. Beliau kemudian meminta pimpinan mereka, Sa’ad Bin Ubadah untuk mengumpulkan seluruh kaum Anshar itu di satu tempat. Setelah berkumpul, Rasulullah saw. datang untuk menasihati mereka. “Apa desas-desus yang berkembang di tengah-tengah kalian? Apa perasaan-perasaan yang ada di hati kalian terhadapku?” kata Rasulullah membuka khutbah, setelah bertahmid dan menyanjung Allah swt. “Bukankah aku datang kepada kalian dalam keadaan kalian tersesat lalu Allah memberi kalian petunjuk? Kalian miskin lalu Allah memberi kalian kecukupan? Kalian bermusuhan lalu Allah memadukan hati kalian?” Mereka mengatakan, “Benar, Allah dan Rasul-Nyalah yang paling berjasa dan paling utama.” Rasulullah saw. melanjutkan, “Wahai kaum Anshar, mengapa kalian tidak menjawabku?” Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, dengan apa kami menjawab engkau? Allah dan Rasul-Nyalah yang paling berjasa dan paling utama.” Rasulullah saw. mengatakan, “Demi Allah, kalau kalian mau pasti kalian mengatakan –dan kalian pasti berkata jujur dan dapat dipercaya: ‘Engkau datang kepada kami, wahai Rasulullah, dalam keadaan didustakan lalu kami mempercayai engkau. Engkau datang dalam keadaan dihinakan lalu kami membela engkau. Engkau datang kepada kami dalam keadaan terusir lalu kami melindungi engkau. Engkau datang kepada kami dalam keadaan sengsara lalu kami membantu engkau’. Wahai kaum Anshar, apakah hati kalian lebih mencintai kemilau dunia yang dengannya aku menjinakkan hati sebagian orang agar teguh dalam Islam padahal aku mengandalkan kalian pada keislaman kalian?” Dan pada akhirnya kaum Anshar menyadari kekeliruan mereka dalam memposisikan diri mereka dan memandang Rasulullah saw. Mereka menangis sejadi-jadinya hingga janggut-janggut mereka basah dengan air mata seraya mengatakan, “Kami puas dengan Rasulullah saw. sebagai bagian kami.”

Rasulullah saw mengingatkan kepada kita bahwa manakala kita mendapat hidayah Allah SWT untuk masuk dalam barisan Islam, menjadi prajurit Allah, lalu melakukan perjuangan dan pengorbanan untuk Islam, maka sesungguhnya itu bukanlah jasa kita untuk perjuangan Islam. Melainkan justru jasa dan karunia Allah kepada kita sekalian. Tanpa hidayah Allah itu kita hanya akan menjadi manusia dengan kualitas benda mati semacam kayu (khusyubum-musannadah), bahkan bagaikan binatang ternak (kal-an’am). Dan tanpa terlibat dalam perjuangan, kita hanya akan menjadi orang-orang yang tidak punya apa pun untuk menjawab pertanyaan Allah swt. saat kita menghadap-Nya: apa yang telah kau lakukan di dunia?

Sungguh, perjuangan kita untuk menegakkan Islam di muka bumi ini sama sekali bukan jasa untuk Allah swt. Karena Dia, tanpa bantuan manusia, mampu menegakkan Islam dengan tangan-Nya sendiri. Dan Allah tidak mendapat keuntungan sedikit pun dari ketaatan manusia. Sebaliknya Dia juga tidak rugi sedikit pun bila seluruh manusia ingkar pada-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak membutuhkan) sekalian alam. Dan firman-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (Adz-Dzariyaat: 56-58)

Bukan pula perjuangan kita untuk membela dan menguntungkan Rasulullah saw. Karena, pertama kita sudah jauh dari masa hidup Rasulullah saw. Dan kedua, para sahabat yang nyata-nyata terlibat dalam perjuangan dan pengorbanan bersama Rasulullah saw. saja pun hakikatnya bukan membela Rasulullah saw. Karena tanpa bantuan kaum Muslimin pun Rasulullah saw. sudah nyata-nyata dibela oleh Allah swt. Kepada para sahabat yang habis-habisan membela dan berjuang untuk Islam bersama Rasulullah saw. itu Allah swt. berfirman: “Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seseorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah berduka cita, sesungguhya Allah bersama kita”. Maka Allah menurunkan ketenangan kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 40)

Lalu, apakah perjuangan dan pengorbanan kita menguntungkan Islam? Islam tanpa kita, akan ada orang lain yang memperjuangkannya. Allah swt menegaskan hal itu dengan ayat-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Maidah: 54)

Rasulullah saw. pun bersabda, “Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menegakkan kebenaran tanpa terganggu oleh orang yang menghinakan dan menentang mereka, hingga datang kemenangan dari Allah dan mereka tetap dalam keadaan demikian.” (Muslim)

Jadi harus kita sadari, sesungguhnya segala yang kita lakukan dalam perjuangan dengan segala macam bentuk pengorbanan adalah jasa kita untuk diri kita sendiri dan itu merupakan Hidayah terindah yang Allah berikan kepada kita. Sebab, setiap kita hanya akan memperoleh apa yang kita lakukan di dunia. “Dan seseorang tidak akan memperoleh selain dari apa yang telah dia usahakan.” Iman, hijrah, jihad dengan harta dan jiwa, itulah yang akan menghantarkan kita menjadi orang yang sukses sejati, sebagaimana yang Allah jelaskan: “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.” (At-Taubah: 20). Allahu a’lam